Palu, Teraskabar.id – Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulawesi Tengah, Nelson Matubun menyatakan akan turun ke lokasi untuk mengecek langsung bantuan mesin pemanen padi (combine harvester) yang diduga diperjualbelikan. Rencana Kadis Nelson Matubun untuk turun langsung ke lapangan, setelah kasus ini mencuat ke publik.
Nelson Matubun menyatakan komitmennya untuk menindaklanjuti informasi terkait dugaan jual beli mein pemanen padi jenis combine harvester yang seharusnya diberikan secara hibah kepada petani di Desa Kampung Baru, Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala.
Nelson mengaku baru mengetahui kasus tersebut dari pemberitaan media dan akan segera mengecek langsung ke lapangan.
“Insya Allah saya cek lapangan ya pak. Terima kasih banyak infonya pak. Saya baru dapat info dari berita ini,” ujar Nelson melalui pesan WhatsApp kepada media, Senin (21/4/2025).
Pernyataan ini muncul setelah kasus dugaan penyimpangan bantuan combine harvester mencuat ke publik dan menjadi perhatian aparat penegak hukum.
Bantuan tersebut diduga diperjualbelikan kepada salah seorang anggota Kelompok Tani Mattaropura, Desa Kampung Baru, Kecamatan Balaesang, Donggala, dengan harga Rp200 juta, padahal seharusnya diberikan secara cuma-cuma sebagai bagian dari program aspirasi salah satu anggota DPRD Sulawesi Tengah.
Kepala Cabang Kejaksaan Negeri (Kacabjari) Sabang, Hasyim, membenarkan bahwa pihaknya telah menerima laporan dugaan jual beli alat tersebut sejak 9 Oktober 2024, dan saat ini tengah memulai proses penyelidikan.
Menurut Hasyim, penyelidikan akan dimulai pekan ini, dimulai dengan memeriksa anggota Kelompok Tani Mattaropura.
“Minggu ini kita riksa (periksa), karena minggu lalu kita masih evaluasi dari Kejati. Saya masih otw Ogoamas untuk penyuluhan hukum,” tulis Hasyim kepada media, Senin (21/4/2025).
Dugaan penyimpangan ini berawal dari laporan kelompok tani yang merasa ada kejanggalan dalam penyaluran alat tersebut.
Sekretaris kelompok, Mohamad Yani mengungkapkan bahwa alat combine harvester tidak pernah diserahkan kepada ketua kelompok seperti prosedur yang berlaku.
Kecurigaan semakin menguat ketika dalam rapat kelompok pada Desember 2023, seorang anggota bernama Alham Lasiang menyebut alat tersebut tidak diterima secara gratis, melainkan harus dibeli senilai Rp200 juta.
Rapat desa yang digelar Badan Permusyawaratan Desa (BPD) pada 13 September 2024 kembali mengungkap fakta serupa.
Alham Lasiang menyatakan bahwa dokumen seperti proposal, NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah), dan berita acara serah terima hanyalah formalitas, sementara transaksi pembelian dilakukan dalam dua tahap.
Disebutkan bahwa Rp20 juta ditransfer melalui BRI Link kepada oknum staf pendamping anggota DPRD Sulteng berinisial AA, sementara Rp80 juta diserahkan tunai kepada Kepala Desa, yang kemudian disalurkan ke oknum yang sama.
“Pembayaran itu diakui sendiri oleh Kades dalam rapat desa,” ungkap Mohamad Yani.
Kasus ini menjadi sorotan karena alat tersebut merupakan bagian dari dana aspirasi yang seharusnya ditujukan untuk pemberdayaan petani.
Alih-alih membantu, bantuan tersebut justru diduga dijadikan lahan bisnis oleh oknum-oknum tertentu.
Kini masyarakat dan kelompok tani menuntut agar aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus ini, termasuk keterlibatan oknum staf pendamping maupun kemungkinan adanya peran dari pejabat desa dan Anggota DPRD Sulteng yang menyalurkan bantuan tersebut.
Pemeriksaan awal oleh kejaksaan akan difokuskan pada anggota kelompok tani penerima dan berlanjut ke pihak-pihak yang disebut dalam laporan.
Publik pun menantikan transparansi dan tindakan tegas dari pihak berwenang. (red/teraskabar)