Oleh Hasanuddin Atjo, Ketua Komisi Penyuluhan Pertanian Sulawesi Tengah
Perjalanan dengan Kereta Api dari stasiun Gambir, Jakata ke stasiun Semilir, Cilacap Jawa Tengah membutuhkan waktu tempuh sekitar enam jam. Ini cukup lama, dan seperti biasa dimanfaatkan menulis catatan ringan yang kali ini menyoroti kondisi Pertanian di Sulteng.
Gubernur Sulteng Anwar Hafid kembali menelorkan gagasan menarik, melalui rapat terbatas di kantor Bappeda Sulteng pada Jumat, tanggal 2 Mei 2025 dengan membentuk Brigade Pertanian tingkat daerah.
Gagasan ini menindalanjuti salah satu strategi Kementerian Pertanian dalam meningkatkan
produksi maupun produktifitas pertanian terutama padi sawah dalam rangka swasembada pangan yang menjadi salah satu prioritas Presiden RI ke 8, Prabowo Subianto.
Brigade Pertanian bentukan Gubernur Anwar Hafid antara lain, bertujuan mengawal program intensifikasi pertanian dalam hal ini strategi peningkatan produktifitas padi sawah di Sulteng dari 3,0 ton menjadi 6,0 ton per ha per musin tanam, kurun waktu 2025 -2029.
Kebijakan yang diambil, patut diberi apresiasi, karena belum semua Provinsi, Kabupaten dan Kota membentuk brigade atau satgas (satuan tugas). Selain itu dengan produktifitas padi 3,0 ton per ha per musim tanam, berdasarkan kalkulasi hanya bisa menutup ongkos produksi atau HPP (Harga Pokok Produksi) usaha padi sawah.
Karena itu dalam perhitungan Nilai Tukar Petani (NTP) di Sulteng oleh BPS Provinsi, selalu menempatkan subsektor tanaman pangan pada posisi paling bawah kurang dari 100 persen dari enam subsektor (Hortikultura, Perkebunan, Peternakan, Perikanan tangkap dan Perikanan Budidaya).
Satgas ini antara lain bertugas mengawal langsung upaya peningkatan produktifiras padi sawah di Sulteng sebesar 100 persen ( 3,0 ton menjadi 6 ton per ha per musim tanam). Dan ini bisa dicapai hanya dengan cara cara diluar kebiasaan.
Intensifikasi ( Benih bermutu, ketersediaan pupuk dan air, transformasi inovasi-teknoligi, serta kelembagaan petani); Mekanisasi proses produksi dan pascapanen serta hilirisasi merupakan tiga kompenen yang saling berpengaruh satu sama lain.
Diperlukan pemetaan masalah terhadap tiga komponen yang telah disebutkan. Selanjutnya dibuat sebuah desain solusi dan rencana aksi. Keterlibatan para pihak yang berkompeten tentunya menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya.
Desain solusi tentunya sudah mempetimbangkan aspek nilai tambah dari usaha padi sawah yang selama ini dinilai kurang menjadi perhatian. Padahal aspek ini bisa berkontribusi besar terhadap peningkatan pendapatan, selain upaya peningkatan produktifitas.
Mendorong investasi swasta membangun pabrik gilingan padi modern yang bernama
” Rice Mill Digital” menjadi poin yang strategis. Pengalaman di Sulawesi Selatan menunjukan ada peningkatan harga gabah petani, karena mesin tersebut bisa menghasilkan beras yang berkualitas premium.
Selain itu terdapat hasil ikutan seperti beras broken, bekatul, dedak halus serta biomass sekam yang telah terpisah secara mekanis dan memiliki nilai tambah yang tidak sedikit.
Nilai tambah lain yang kurang dimanfaatkan bahkan dibakar adalah jerami padi. Padahal limbah ini bisa dikonversi jadi pakan ternak besar maupun bahan komplenen pembuatan pupuk organik.
Sebagai informasi apabila produktifitas padi sawah 6 ton per ha, maka potensi biomass jerami antara 18 – 24 ton. Ini merupakan satu jumlah yang tidak sedikit yang selama ini kurang disentuh.
Kemitraan peternak itik dengan petani padi di Sulawesi Selatan juga menjadi hal kecil tetapi menarik. Dengan melepas itik di areal yang baru dipanen memberi manfaat pendapatan bagi keduanya.
Melengkapi catatan kecil ini, kiranya desain solusi upaya peningkatan produktifitas dan nilai tambah usaha tani padi dipraktekkan dalam bentuk role model (pilot project) yang berbasis kecamatan/gabungan kecamatan agar bisa terukur dan anggaran tercukupi.
Dalam menyusun desain solusi, keterlibatan swasta ( bisa saja Bumdes dan Koperasi Merah Putih) serta pemanfaatan dana desa sebaiknya diikut sertakan menangkap regulasi yang saat ini sedang bergulir. SEMOGA