Palu, Teraskabar.id – Ketua Tim Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) Sulawesi Tengah, Eva Bande meminta seluruh pihak yang tengah berkaitan dengan konflik agraria di Sulteng, terkhusus pihak kepolisian untuk tidak mengambil tindakan represif serta pendekatan pidana terhadap rakyat yang tengah memperjuangkan haknya.
Hal ini disampaikan oleh Eva setelah Timnya menerima aduan terkait penangkapan petani di Desa Peleru atas tuduhan pencurian buah sawit yang dilaporkan oleh perusahaan PT Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN), Selasa (25/3/2025).
Eva Bande yang dimandatkan menjadi Ketua Satgas Penyelesaian Konflik Agraria Sulteng, menyampaikan bahwa Tim PKA ingin seluruh pihak untuk menghargai proses yang tengah berjalan saat ini dengan tidak melakukan praktik represif ataupun intimidatif terhadap petani yang berkonflik dengan perusahaan.
“Kemanusian tak boleh ditumbalkan hanya karena Hukum Normatif atapun kepentingan korporasi semata,” kata Eva Bande.
Menurutnya, apa yang kemudian digagas bersama oleh Gubernur Sulteng Anwar Hafid dan Tim Penyelesaian Konflik adalah sebuah inisiatif dan komitmen politik oleh Gubernur Sulteng, yang sedari awal mencalonkan diri di Pilkada Sulteng, berjanji menyelesaikan permasalahan konflik agaria yang dari kepemerintahan sebelumnya yang belum selesai maupun konflik yang terjadi saat ini dan kedepannya.
Eva yang merupakan Pejuang HAM dan Agraria Indonesia ini juga menekankan bahwa dengan telah dibentuknya Satgas Penyelesaian Konflik Agraria di Sulteng ini menjadi sebuah harapan agar inti dari problematika masyarakat Sulteng bisa terjawab.
Kronologi Penangkapan Petani Desa Peleru Morut
Sebelumnya pada Selasa (25/3/2025), Tim Satgas menerima laporan dari masyarakat melalui sambungan Whatsapp bahwa telah terjadi penangkapan dan intimidasi terhadap petani Desa Peluru.
Kronologi yang disampaikan bahwa, sekelompok aparat kepolisian datang menggunakan mobil PT. SPN. Personel kepolisian tersebut dari Polsek Mori Atas, anggota Brimob dengan menenteng laras panjang bersama Humas PT. SPN dan Sekuriti PT. SPN di lokasi sengketa PT SPN dengan warga bernama Adhar Ompo Alias Olong pada pukul 15.30 Wita.
Kedatangan aparat dan pihak PT. SPN tersebut dalam rangka melakukan penangkapan paksa terhadap Olong. Saat kedatangan aparat tersebut, Olong sedang melakukan aktivitas pemanenan di lokasi tersebut bersama dengan 5 orang. Salah satu di antaranya ke lima orang tersebut, terdapat seorang anak kecil.
Humas PT. SPN atas nama Hengky menyuruh aparat kepolisian untuk melakukan penangkapan dengan memerintahkan segera memborgol Olong atas tuduhan pencurian buah sawit. Atas tuduhan tersebut, Olong menolak atas penangkapan tersebut dan membantah tuduhan pencurian yang dimaksud. Karena hingga saat ini Olong merasa memiliki dan menguasai lahan tersebut, sembari merekam video percekcokan dan meminta untuk terlebih dahulu dibicarakan di kantor desa.
Namun pihak perusahaan dalam hal ini Humas PT. SPN atas nama Hengky mendesak kepada pihak kepolisian untuk melakukan penangkapan tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan. Sehingga terjadi tindakan pemaksaan penangkapan dengan kekerasan hingga terjadi pemukulan terhadap saudara Olong, yang menyebabkan korban mengalami memar di bagian kepala akibat pukulan yang dilakukan oleh oknum anggota Brimob. Olong juga sempat mendapat todongan senjata api yang telah dikokang dari oknum Brimob karena berusaha membela diri bahwa yang dilakukannya itu bukan pencurian.
Setelah Olong ditangkap, Humas PT. SPN, Hengky, merampas ponsel milik korban. Kemudian, Olong dibawa ke Polsek Mori Atas, kurang lebih satu jam di Polsek Mori Atas, Olong digiring ke Polres Morowali Utara.
Saat berada di Polres Morowali Utara, pihak keluarga Olong belum mengetahui peristiwa penangkapan tersebut. Nanti keesokan harinya, barulah pihak keluarga mengetahui hal tersebut.
Wilayah Kelola PT SPN adalah HGU PTPN XIV
Sebagaimana keterangan masyarakat bahwa PT. SPN melakukan penanam awal di wilayah Watumesono, tepat di wilayah kepemilikan Olong pada tahun 2015 dengan klaim atas kepemilikan HGU.
Sementara wilayah kelola PT. SPN merupakan wilayah HGU PTPN XIV yang keluar pada tahun 2009. Pada tahun 2011, terjadi peralihan perusahaan antara PTPN XIV dan PT.SPN. Hingga saat ini, PT. SPN masih menggunakan HGU PTPN XIV, sedangkan perusahan tersebut berbeda secara status hukum.
Oleh karena itu sengketa lahan antara Olong yang merupakan petani Desa Peleru dengan PT. SPN sudah terjadi sejak tahun 2015. Dan, hingga pada tahun 2025 ini persoalan tersebut belum ada penyelesaian. Masalah tersebut menunjukkan ketidakbecusan pemerintah dalam penyelesaian sengketa lahan tersebut sehingga Olong melakukan tindakan pemanenan.
Persoalan sengketa masyarakat dan PT SPN sebenarnya tengah dalam proses penyelesaian. Pada 25 Januari 2025 lalu, pihak Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengeluarkan Surat Rekomendasi Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Desa Peleru atas tindak lanjut mediasi yang sebelumnya dilakukan pada 22 Januari 2025.
Dalam suratnya disepakati tiga poin yang berbunyi : Bahwa Pemerintah Kabupaten Morowali Utara dan Badan Pertanahan Kabupaten Morowali Utara untuk segera melakukan pengukuran titik batas lokasi Hak Guna Usaha (HGU) PT SPN, yang melibatkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kabupaten Morowali Utara.
Selanjutnya, Pemerintah Kabupaten Morowali Utara untuk segera menindaklanjuti kesepakatan pada tahun 2016, serta melakukan musyawarah kembali untuk mengetahui apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaanya.
Terkahir, masyarakat Desa Peleru dan PT SPN wajib menjaga keamanan dan ketertiban di lapangan dan tidak melakukan tindakan diluar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atas situasi tersebut, Eva Bande mewakili Tim Satgas Penyelesaian Konflik Agraria Sulteng meminta untuk Polsek Mori dan Polres Morowali Utara segara mengehentikan penangkapan dan praktik intimidasi ke Petani ataupun masyarakat yang tengah bersengket.
Eva Bande juga meminta agar dapat berkomuninikasi dengan pihak-pihak terkait dari proses penyelesaian yang tengah berjalan saat ini.
Ia berkomitmen, kasus ini akan menjadi atensi oleh Tim PKA Sulteng dan akan memproses lebih lanjut setelah lebaran. (red/teraskabar)