Palu, Teraskabar.id – Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah segera menindaklanjuti konflik agraria di Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso dengan membentuk Tim Terpadu untuk menelusuri dan memverifikasi klaim masyarakat atas lahan garapan yang diduga tumpang tindih dengan wilayah Hak Pengelolaan (HPL) Bank Tanah.
Langkah ini disepakati dalam rapat yang digelar pada Rabu (30/4/2025), yang dipimpin Asisten Pemerintahan dan Kesra Dr. Fahrudin Yambas,M.Si., di ruang kerjanya dan dihadiri berbagai pihak, termasuk Ketua Satgas Penyelesaian Konflik Agraria Eva Bande, Sekdis Perkimtan Jambar, Kasub Hukum Erwin, Asisten I Pemkab Poso, perwakilan BPN/ATR Sulteng, Bank Tanah, serta utusan dari masyarakat Watutau.
Rapat ini merupakan tindak lanjut dari aduan masyarakat melalui Koalisi Kawal Pekurehua, sebuah gerakan advokasi agraria yang selama ini mengawal konflik tanah di wilayah adat Pekurehua. Koalisi ini bersama WALHI Sulteng menghadap langsung ke Wakil Gubernur Sulteng dr Reny Arniwaty Lamadjido pada Kamis (25/4/2025), untuk menyerahkan dokumen Lembar Fakta dan Kajian Hukum. Penyerahan ini dilakukan di ruang kerja Wagub Sulteng dan didampingi langsung Ketua Harian Satgas Penyelesaian Konflik Agraria (Satgas PKA), Eva Bande.
“Alhamdulillah, mediasi awal telah dilakukan. Kini kami siapkan langkah teknis untuk menyelesaikan persoalan ini secara menyeluruh,”ujar Asisten Fahrudin usai rapat.
Tim terpadu yang dibentuk akan bekerja di bawah koordinasi Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Perkimtan) Provinsi Sulawesi Tengah.
Tim tersebut, kata Asisten Fahrudin, memiliki waktu hingga awal Agustus 2025 untuk merampungkan tugasnya. Fokus utama tim adalah mengidentifikasi objek dan subjek atas lahan yang disengketakan, serta melakukan verifikasi lapangan secara menyeluruh.
Proses ini akan melibatkan Kantor Wilayah BPN, Badan Bank Tanah, dan pemerintah desa setempat.
Ia pun meminta Kepala Desa Watutau menjamin kehadiran warga yang menguasai lahan serta memastikan suasana tetap kondusif selama proses berlangsung.
Langkah Pemprov ini diharapkan menjadi titik terang bagi penyelesaian konflik agraria di wilayah Lore Peore, sebuah kawasan yang sejak lama dihuni oleh komunitas adat, namun kerap berhadapan dengan klaim kelembagaan negara atas tanah.
Ia juga mengingatkan semua pihak untuk menahan diri selama proses berlangsung.
“Tidak perlu ada pelaporan baru yang dapat memperkeruh suasana. Mari kita hormati proses ini demi keadilan bersama,”ujarnya.
Terakhir Ia berharap penyelesaian konflik agraria dapat dilakukan secara menyeluruh, transparan, dan mengedepankan keadilan bagi semua pihak.
HGU Berakhir, Konflik Agraria Mencuat
Konflik Agraria di Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore ini berakar dari berakhirnya HGU PT. HASFARM pada tahun 2021. Sejak saat itu, masyarakat Desa Watutau Kembali menggarap tanah tersebut, mengurusi penerbitan dokumen Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT), dan menjadikan lahan tersebut sebagai sumber mata pencaharian keluarga mereka.
Namun, pada tahun 2022, Badan Bank Tanah hadir dan secara sepihak mencaplok seluruh wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari HGU PT. HASFARM.
Temuan Lapangan yang dilakukan WALHI dan Koalisi Kawal Pekurehua menemukan fakta bahwa peta penguasaan BBT melebihi luas eks HGU PT. HASFARM. Perbedaan signifikan antara peta resmi HGU dan klaim Badan Bank Tanah menimbulkan dugaan tindakan perampasan tanah oleh negara atas nama reforma agraria.
Lebih lanjut, penerbitan Hak Pengelolaan (HPL) oleh BPN kepada BBT dilakukan tanpa peninjauan lapangan dan tanpa melibatkan masyarakat lokal, suatu pelanggaran serius terhadap prinsip partisipasi dalam reforma agraria sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 74 Perpres Nomor 62 Tahun 2023.
Rekomendasi Pemulihan Hak Atas Tanah
WALHI dan Koalisi Kawal Pekurehua saat menghadap Wakil Gubernur Sulteng di ruang kerjanya, menyerahkan beberapa rekomendasi konkret kepada para pihak agar dapat dijalankan mengingat situasi yang semakin mendesak, di antaranya:
– Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk segera menindaklanjuti dokumen kajian hukum tersebut dan memanggil serta memeriksa para pihak terkait seperti BBT, BPN dan Bupati Poso.
– Aparat Kepolisian khususnya Polres Poso agar menahan diri dan tidak serta merta merespon dengan Proses Pidana Terhadap Masyarakat yang memperjuangkan Tanahnya. Termasuk untuk menghentikan penggunaan Pasal 160 KUHP sebagai alat represi terhadap aksi protes damai warga,
Satgas PKA untuk memastikan proses penyelesaian konflik agraria berjalan transparan dan adil.
Selain menyerahkan rekomendasi, juga menyerahkan sejumlah dokumen memuat hal-hal sebagai berikut:
– Kronologi konflik dan data nama-nama warga yang dikriminalisasi,
– Bukti perbedaan peta klaim BBT dengan peta eks HGU PT. HASFARM,
– Kajian dan Analisis hukum penerbitan HPL tanpa partisipasi masyarakat,
– Penilaian pelanggaran terhadap prinsip partisipatif dalam Reforma Agraria berdasarkan Perpres 62 Tahun 2023,
– Permintaan konkret perlindungan terhadap masyarakat Watutau dan evaluasi atas tindakan BBT dan aparat penegak hukum. (red/teraskabar)