Oleh Abd. Ghafur Halim (Penggiat SEATAP)
BUMDes atau Badan Usaha Milik Desaadalah gagasan progresif dalam upaya mendorong kemandirian ekonomi desa. Melalui UU Desa, negara memberikan ruang yang luas bagi desa untuk membentuk unit usaha berbadan hukum, dengan harapan dapat menggeliatkan potensi lokal, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan Pendapatan Asli Desa(PADes). Namun di banyak tempat, BUMDes justru jalan di tempat, stagnan, bahkan mati suri. Kenapa?
Pertama, BUMDes kerap dibentuk tanpa arah bisnis yang jelas, hanya sebagai formalitas untuk memenuhi syarat administrasi. Akibatnya, sejak awal pembentukannya tidak melalui studi kelayakan, tidak mengenali potensi lokal, dan tidak memiliki rencana bisnis yang realistis. Ini seperti membangun rumah tanpa pondasi yang kuat.
Kedua, minimnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) pengelola menjadi persoalan mendasar. Banyak pengelola BUMDes diangkat bukan karena kompetensi, tetapi karena kedekatan dengan pemerintah desa. Tanpa pemahaman tentang tata kelola bisnis, BUMDes hanya menjadi simbol, bukan solusi.
Ketiga, BUMDes tidak mampu berinovasi dan adaptif terhadap pasar. Banyak unit usaha BUMDes hanya meniru usaha yang sudah ada, seperti penyewaan tenda atau kios sembako, tanpa diferensiasi dan daya saing. Tidak ada riset pasar, tidak ada strategi promosi, tidak ada pengembangan produk. Stagnansi terjadi.
Keempat, kurangnya transparansi keuangan turut memupus kepercayaan masyarakat. Tidak jarang laporan keuangan tidak disusun, atau jika ada, tidak dipublikasikan secara terbuka. Ketertutupan ini memicu konflik internal dan memperlemah dukungan sosial terhadap BUMDes.
Kelima, lemahnya pendampingan dari pemerintah dan lembaga terkait. Pendampingan yang bersifat teknis dan strategis masih sangat minim. Alih-alih mendampingi secara intensif, pendampingan sering hanya bersifat seremonial—terbatas pada pelatihan singkat tanpa keberlanjutan. Pelatihan tidak akan cukup tanpa pendampingan berkelanjutan.
BUMDes seharusnya menjadi mesin ekonomi desa, bukan sekadar pelengkap administratif pembangunan. Agar dapat berkembang, BUMDes perlu dikelola dengan prinsip profesionalisme, transparansi, dan keberpihakan pada potensi lokal. Pemerintah juga mesti memperkuat fungsi pendampingan, bukan hanya dari sisi regulasi, tetapi juga kapasitas teknis dan jejaring pasar.
Sudah saatnya desa melihat BUMDes sebagai investasi jangka panjang, bukan proyek musiman. Bila dikelola serius, BUMDes bisa menjadi lokomotif perubahan sosial-ekonomi di pedesaan. Namun jika tetap dibiarkan seperti sekarang, BUMDes hanya akan jadi catatan manis di atas kertas yang tak pernah hidup dalam kenyataan.
Pada akhirnya, BUMDes sebagai gagasan besar untuk kemandirian ekonomi desa, dibeberapa tempat gagal berkembang karena terjebak pada pelaksanaan yang tidak profesional, tanpa arah bisnis yang jelas, dikelola oleh SDM yang tidak kompeten, minim inovasi, tertutup dalam pengelolaan keuangan, serta lemahnya pendampingan dari pemerintah. Untuk benar-benar berfungsi sebagai motor penggerak ekonomi desa, BUMDes harus dikelola secara serius, transparan, profesional, dan berbasis potensi lokal dengan dukungan pendampingan yang berkelanjutan. (red/teraskabar)