Catatan Kritis di Pilkada Serentak 2024 Sulteng, Paradox Of Happiness

Andono Wibisono. Foto: Istimewa

Oleh Andono Wibisono/wartawan utama

Teraskabar.id – Tahap Pemungutan suara, 27 Nopember lalu hingga kini menyisahkan perbincangan masyarakat. Di warung kopi, kelas menengah hingga akar rumput terus mengerucut pada paradoknya pemilih. Poinnya, partisipasi pemilih di iven rotasi lima tahunan kabupaten/kota dan provinsi. Yaitu Pilkada serentak 2024 di Sulawesi Tengah.

Pagi ini, 3 Desember 2024 di sebuah WA grup lewat di beranda layar kaca saya, pernyataan DR Nisbah, komisioner KPU Sulteng tanggal 3 Maret 2024. Dilansir Antara News, Nisbah menyebut bahwa partisipasi pemilih di Pileg dan Pilpres 2024 di atas rata rata nasional. Partisipasi politik yang luar biasa. Sangat mengagumkan. Berarti penyelenggara dan stakeholders Pemda, Pemprov, OKP, Ormas dan aparat kepolisian serta TNI sukses.

Di sisi lain, Pilkada serentak, 27 November 2024, yang memilih bupati, wali kota dan gubernur serta wakil wakilnya, di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, kita dihentakkan dengan data – data beredar baik dari Bawaslu, KPU sendiri, para timses. Semua menitik-beratkan keluhan atas rendahnya partisipasi pemilih. Dan atau, atas kejadian dimaksud, menyebabkan hilangnya hak konstitusional warga negara Republik Indonesia. Begitu kira-kira naratif hukumnya.

PARADOK

Sampai hari ke enam, pasca-coblosan, keluhan atas rendahnya partisipasi pemilih dominan terjadi pada kuantitasi pemilih gubernur dan wakil gubernur. Sedangkan pemilihan bupati dan wali kota tak satupun dipersoalkan publik dan timses masing – masing. Padahal, Pilkada serentak. Serentak mendapat dua surat suara. Biru dan Merah. Dua kotak suara.

Sebagai seorang jurnalis, hal – hal paradok selalu menjadi sesuatu yang menarik untuk terus diikuti, dicari fakta yang terjadi di lapangan dan terus menguji peristiwa demi peristiwa. Mengapa yang banyak kekurangan partisipasi pemilih itu hanya data Pilgub. Sangat banyak bertebaran.

  Satgas Madago Raya Temukan Jenazah di Kebun di Sausu Parimo

Sebuah media online di Sulteng menyebut sekira 622 ribu rakyat kehilangan hak konstitusionalnya dan atau terhalangi, hingga tidak dapat memilih sesuai asas bebas, adil, jujur dan rahasia. Sekali lagi bukan hanya dapat dipidana menghilangkan hak pemilih. Tapi juga telah melanggar dengan sengaja asas pemilu dan pilkada. Sangat paradok.

Seorang kawan, saat ini di Bawaslu Sulteng bahkan menemukan warga bernama Dedi, di TPS 1 Desa Sibedi, Kabupaten Sigi. Dedi merobek surat pemberitahuan memilih depan KPPS dan seluruh anggotanya di TPS, karena dengan alasan tertentu tidak dapat menyalurkan hak pilihnya. Ia murka dan merobek.

Kasus yang sama di Parigi Moutong. Dalam video pendek melakukan testimoni tak dapat memilih bukan karena Golput. Tapi terhalangi, dan atau tak dapat melaksanakan hak kosntitusinya karena kebijakan penyelenggara pemilu. Masih banyak data dan temuan ditulis di catatan ini.

DATA WARGA TAK BISA MEMILIH

Data beredar baik dari website KPU dan sejumlah media online merilis ratusan ribu warga Sulteng kehilangan hak memilih. Atau hak suara. Berikut yang terekam di tulisan ini;

KOTA PALU : 102. 629 Pemilih

MORUT        :    36. 411  Pemilih

BANGGAI LAUT :  7. 118 Pemilih

SIGI               :  53. 092 Pemilih

TOJO UNA-UNA : 27. 176 Pemilih

PARIGI MOUTONG :  105. 365 Pemilih

BANGGAI KEPULAUAN :  12. 279 Pemilih

MOROWALI :  29. 337 Pemilih

BUOL :  21. 299 Pemilih

TOLITOLI : 51. 114 Pemilih

  Diduga Bawa Lari Anak Gadis, Pria Asal Balantak Diamankan Polisi

DONGGALA : 61. 688 Pemilih

POSO  : 55. 269 Pemilih

BANGGAI : 59. 851 Pemilih

TOTAL : 622. 628 RIBU

BAHAGIA YANG INSTAN

Dikenal dengan Paradox of Happiness. Iris Mauss, seorang profesor University Of California yang mulai mengenalkan ke dunia istilah itu. Sebuah bahagia yang semu. Sebuah celebrating yang menutupi ketudakbahagiaan itu sendiri. Seolah olah bahagia, itu kata senior saya di Warkop Sudimari 2, Jalan Masjid Raya Palu yang dikenal ‘kandang tujuh jantung’ ngopi di sana.

Kita dengan sadar, dengan hati yang tenang dan ikhlas menonton dan menyaksikan dugaan demi dugaan permainan oknum polisi, oknum ASN level eselon paling tinggi, eselon dua hingga oknum penjabat sementara masuk dalam konspirasi yang viral disebut Parcok, oleh beberapa media baik Tempo, dan lain – lain. Partai Coklat. Ribut ramai dan riuh di platform sosmed Tik Tok.

Paradox of Happiness sedang terjadi di cawan politik Negeri Seribu Megalit. Sebuah bahagia semu. Pilkada yang dituju hanya kemenangan (bahagia) saja. Golnya pokoknya menang. Lupa hakekat bahagia.

Apa salah di Pilkada tujuannya menang (bahagia). Tidak. Event politik golnya berkuasa dengan cara menang. Tapi, apa iya dengan berfokus saja pada kemenangan akan memperoleh kebahagiaan sang pemimpin. Tidak ada jaminan. Karena happy yang paradok.

Kita semua pasti merasakan highlight. Di sosial media banyak contohnya. Di politik pun sama. Pasti akan ada yang mengalami Highlight. Tidak terjadi setiap hari. Semua orang akan memiliki tujuan bahagia yang sama tapi berbeda – beda. Di Pilkada Sulteng juga demikian.

  Kades Marana Gugat Bupati Donggala, Begini Putusan PTUN Palu

Saya ingat pesan, tokoh, guru dan pimpinan, Haji Rusdy Mastura. ‘’Selalu Tenang. Jangan dendam, fokus kemana tujuan. Itu sejatinya politik dek,’’ ujarnya suatu kesempatan kita sedang duduk berdua. ***

Terkait