
Oleh Darmiati SH (Anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data dan Informasi)
Hak pilih merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih calon pemimpin melalui perhelatan Pemilu yang digelar 5 tahun sekali.
Memilih sosok pemimpin yang terdiri dari calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD), calon Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik di pusat, provinsi dan kabupaten, serta memilih Presiden dan wakil Presiden.
Baca juga : Ketua KAHMI Jaya Ajak Peserta Munas Pilih Perwakilan Sulteng
Dalam menggunakan hak pilihnya tentu dilandasi dengan ketertarikan hati kepada figur dan tawaran visi-misi dan program dari calon yang “dijagokan”.
Bawaslu memastikan bahwa penggunaan hak pilih ini benar-benar lahir dari kesadaran politik warga negara untuk mewakilkan suaranya kepada figur yang diyakini akan membawa negara ini ke arah yang lebih baik lagi.
Baca juga : Deklarasi Janji Kinerja 2022, Kanwil Kemenkumham Sulteng Menuju Predikat WBBM
Dipastikan tidak terdapat praktik-praktik yang mengarah kepada kecurangan Pemilu, seperti :
1. Melakukan money politik
2. Menggunakan Politik Identitas
3. Menyampaikan atau menyebarkan ujaran kebencian
5. Menggunakan Isu SARA
6. Menggunakan anggaran dan program pemerintah
7. Melibatkan ASN, TNI/Polri, Pejabat Negara dan atau daerah, kepala desa, pejabat BUMN/BUMD dalam mempengaruhi pemilih dengan tujuan untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 terutama pasal 280 sampai dengan pasal 283.
Kedaulatan rakyat semestinya digunakan dengan benar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kekuasaan yang ada di tangan rakyat harus diartikan sebagai kekuasaan murni dari kekuatan rakyat, bersatu membangun negeri yang Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafuur. Rakyat yang berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 Sebagaimana yang terdapat dalam alinea keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. ***