Palu, Teraskabar.id – Di tengah arus modernisasi yang kian kuat, sejumlah bahasa daerah di Sulawesi Tengah (Sulteng) mulai kehilangan penuturnya.
Banyak anak muda lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, sementara bahasa ibu mereka perlahan ditinggalkan.
Untuk mencegah punahnya bahasa daerah, Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah meluncurkan program pengembangan cerita anak dwibahasa yang memadukan bahasa Indonesia dengan berbagai bahasa daerah di Sulteng.
Program ini menjadi bagian dari upaya revitalisasi bahasa daerah yang telah dijalankan selama tiga tahun terakhir.
Kasubag Umum Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah, Abdul Rahim Husin, menjelaskan program tersebut berangkat dari amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra.
“Produk ini adalah produk dwibahasa, menggunakan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Kami sudah menghasilkan sekitar 150 buku dengan model serupa,” ujar Abdul Rahim saat diwawancarai usai kegiatan diseminasi produk penerjemahan buku cerita anak dwibahasa di Palu, Jumat (24/10/2025) pagi.
Ia menambahkan, buku-buku tersebut dihasilkan dari proses penjaringan penulis lokal yang mendapat pelatihan langsung dari Balai Bahasa.
Tahun ini, sebanyak 37 judul buku cerita anak berhasil diterbitkan dengan melibatkan penulis dan ilustrator dari berbagai daerah di Sulawesi Tengah.
Menurut Abdul Rahim, antusiasme masyarakat cukup tinggi. Dari 59 pendaftar yang mengikuti seleksi, 37 penulis dinyatakan lolos dan menghasilkan karya dalam bentuk buku cerita anak dwibahasa.
“Kalau dari minat penulis jelas ada peningkatan, apalagi berkaitan dengan mutu,” tuturnya.
Selain sebagai media literasi, produk dwibahasa ini juga diharapkan bisa dimanfaatkan sebagai bahan ajar muatan lokal di tingkat pendidikan dasar maupun taman baca masyarakat.
“Buku-buku ini bisa digunakan oleh pegiat literasi, atau mitra komunitas, bahkan pemerintah daerah, untuk bahan literasi di perpustakaan. Termasuk bisa dijadikan bahan ajar muatan lokal di sekolah dasar,” jelas Abdul Rahim.
Salah satu penulis yang terlibat dalam program tersebut adalah Suparman Tampuyak, penulis asal Kabupaten Banggai.
Ia menulis cerita anak berjudul Tantoan hi Tatu luli (Rencana untuk Tatu Luli) menggunakan bahasa Saluan, bahasa daerah yang dituturkan masyarakat di wilayahnya.
Menurut Suparman, program ini merupakan gerakan positif untuk menjaga eksistensi bahasa ibu melalui karya sastra anak.
“Tanggapan saya ini adalah sebuah gerakan yang sangat positif dari Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah. Alhamdulillah ini sudah tahun ke-3, antusias masyarakat sungguh luar biasa,” katanya.
Ia menambahkan, proses penulisan dimulai dengan sayembara dan bimbingan teknis penulisan cerita anak yang digelar oleh Balai Bahasa.
Dari situ, para penulis lokal difasilitasi hingga menghasilkan karya yang sesuai dengan karakteristik budaya daerah masing-masing.
“Insya Allah kita akan tetap konsisten untuk menulis cerita anak dengan tema dan judul lain, sebagai upaya revitalisasi bahasa di Kabupaten Banggai dan Provinsi Sulawesi Tengah,” ujar Suparman menambahkan.
Lewat program ini, Balai Bahasa Sulawesi Tengah berharap, karya sastra anak dalam dua bahasa dapat menjadi jembatan bagi generasi muda untuk kembali mencintai bahasa daerah dan melestarikan identitas budaya yang mulai tergerus zaman. (red/teraskabar)







