Palu, Teraskabar.id – Menteri Dalam Negeri Mendagri Tito Karnavian menyampaikan pertumbuhan ekonomi nasional triwulan II tahun 2025 mencapai 5,12 persen (yoy). Sulawesi Tengah menempati peringkat kedua nasional dengan capaian 7,95 persen, di bawah Maluku Utara yang mencatat pertumbuhan 32,09 persen.
Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah cenderung melemah setelah pernah mencapai pertumbuhan sebesar 10,29 persen pada triwulan IV 2024. Selanjutnya, memasuki triwulan I 2025, mengalami pelemahan hingga pertumbuhan ekonomi tercatat 8,69 persen, kemudian kembali melemah pada triwulan II 2025 menjadi 7,95 persen.
Namun demikian, Sulawesi Tengah masih berada dalam 10 besar provinsi dengan tingkat inflasi tertinggi nasional, yakni sebesar 3,88 persen pada September 2025. Dua kabupaten juga tercatat memiliki tingkat inflasi tertinggi, yaitu Kabupaten Tolitoli (5,26 persen) dan Kabupaten Banggai (4,90 persen).
Mendagri Tito dalam kesempatan tersebut juga menyampaikan bahwa tren inflasi nasional per September 2025 tercatat sebesar 2,65 persen (year-on-year), dengan pertumbuhan 0,21 persen (month-to-month) pada minggu keempat Oktober 2025.
“Indonesia menduduki peringkat ke-8 dari 11 negara ASEAN. Tidak hanya di tingkat nasional, kinerja ekonomi Indonesia juga menunjukkan posisi yang cukup baik di kawasan ASEAN,” ujar Mendagri pada Rapat Koordinasi (Rakor) Pengendalian Inflasi Daerah bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Rakor yang dipimpin langsung Mendagri Tito Karnavian dari Kampus IPDN Jatinagor diikuti Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah diwakili Wakil Gubernur, dr. Reny A. Lamadjido, Sp.PK., M.Kes., bersama OPD dan unsur Forkopimda secara virtual melalui zoom meeting dari ruang kerja wakil gubernur Sulteng.
Sementara itu, Kepala BPS RI, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam paparannya menjelaskan bahwa Indeks Perkembangan Harga (IPH) Sulawesi Tengah pada minggu keempat Oktober 2025 menunjukkan penurunan tertinggi sebesar -1,48 persen. Penurunan ini terutama dipengaruhi oleh turunnya harga beras, bawang merah, dan cabai rawit, yang selama ini menjadi komoditas penyumbang inflasi utama.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, dr. Reny A. Lamadjido, menegaskan komitmen pemerintah daerah untuk terus memperkuat langkah pengendalian inflasi secara berkelanjutan.
“Upaya ini penting agar masyarakat tetap terjaga daya belinya dan kebutuhan pokok tersedia dengan harga yang wajar. Pemerintah daerah berkomitmen memperkuat kolaborasi dengan seluruh pihak terkait,” tegas Wagub.
Dengan sinergi lintas sektor yang semakin kuat, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah optimistis dapat menjaga stabilitas harga, memperkuat ketahanan pangan, dan mengendalikan laju inflasi guna menjaga kesejahteraan masyarakat.
Rakor ini turut dihadiri oleh Perwakilan Perum Bulog Sulteng, Jusri, Perwakilan Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah, perangkat daerah terkait, serta unsur Forkopimda.
Sebagaimana diketahui, pada September 2025 inflasi year on year (y-on-y) Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 3,88 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 110,96. Inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Tolitoli sebesar 5,26 persen dengan IHK sebesar 116,99 dan inflasi terendah terjadi di Kota Palu sebesar 3,03 persen dengan IHK sebesar 108,97.
Tingkat inflasi month to month (m-to-m) September 2025 sebesar -0,07 persen dan tingkat inflasi year to date (y-to-d) September 2025 sebesar 3,55 persen.
Pertumbuhan Ekonomi Sulteng Peringkat 2, Tak Menjamin Daya Beli
Dr. Hasanuddin Atjo dalam tulisan opininya yang dimuat Teraskabar.id mempertanyakan apakah pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta merta mampu meningkatkan daya beli?.
“Ini tentu perlu dikaji dan analisis agar memperoleh gambaran yang kemudian bisa menjadi bahan pertimbangan,” ujar mantan Kepala Bappeda Provinsi Sulteng ini.
Menurutnya, mengacu pada pertumbuhan ekonomidaerah yang berada di atas dua digit tentunya bisa memberi gambaran apakah pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan daya beli warganya.
Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada masa lampau pernah mencapai angka dua digit sebesar 15,56 % (2015), akan tetapi pertumbuhannya kurang berkualitas. Menonjol pada sektor usaha tertentu saja, tidak merata pada 17 sektor usaha.
Tahun 2024 ekonomi daerah ini tumbuh masih tinggi yaitu sebesar 9,89. Sektor industri pengolahan berkontribusi (41,18%), disusul oleh sektor Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (15,80%).
Sektor Pertambangan dan Penggalian berkontribusi (14,64%). Kemudian sektor konstruksi (8,32%), diikuti sektor perdagangan besar dan eceran (5,77 %). Kelima sektor ini berkontribusi 85,72% terhadap PDRB.
Sektor Pertanian, Perikanan dan Kehutanan merupakan sektor bisa mempekerjakan hampir 65% warga Sulteng, namun kontribusinya terus menurun dari tahun ke tahun
Belasan tahun sebelumnya kontribusi sektor ini tembus hingga 40%, namun pada saat ini kurang separuhnya, tinggal 15,80% dengan laju pertumbuhan pada tahun 2024 hanya sebesar (1,93 %).
Sementara itu sektor industri pengolahan tumbuh sebesar (19,12%), jasa keuangan dan asuransi sebesar (11,48 %), penyediaan akomodasi dan makan minum (7,58 %) serta Pertambangan Penggalian tumbuh sebesar (6,19 %).
Menurunnya daya beli warga di saat pertumbuhan ekonomi Sulteng peringkat 2 nasional antara lain, disebabkan oleh turunnya laju pertumbuhan, berkurangnya kontribusi dari sektor pertanian, perikanan dan kehutanan serta tingkat inflasi yang sering tidak bisa terjaga akibat kebijakan dan situasi yang membuat biaya produksi dan ongkos logistik melambung.
Keterbatasan suplai komoditi pangan karena gagal panen akibat penyakit, musim dan bencana alam serta praktek “penimbunan” juga menjadi salah satu penyebab inflasi tidak terjaga.
Menurunnya daya beli warga ditunjukkan oleh femomena bergesernya pilihan kepada penyedia yang lebih murah untuk memenuhi kebutuhan dasar sandang, pangan serta kebutuhan primer lainnya.
Terlihat di pusat keramaian, seperti di kota Palu tumbuh dan berkembang warung nasi dengan harga serba 10 ribu rupiah. Demikian pula toko pakaian serba 35 ribu rupiah, melengkapi bisnis yang lagi naik daun di mana mana.
Ironinya pelanggan warung murah dan pakaian murah tidak saja dibanjiri oleh yang berpenghasilan pas pasan. Namun sejumlah pelanggan berkendaraan roda empatpun ikut bergabung. Ini semakin
memperkuat dugaan daya beli sedang menurun dan ekonomi tumbuh tinggi tak menjamin daya beli.
Sebaliknya rumah makan dan restoran mulai sepi pembeli karena relatif mahal. Apalagi
restoran dikenakan pajak sebesar 10% ikut menambah harga yang mesti dibayar oleh konsumen.
Sejumlah toko pakaian yang telah berinvestasi cukup besar termasuk mall mulai sepi pengunjung. Digantikan oleh penjualan online yang harganya lebih murah, cepat dengan model yang update mengikuti trend perubahan.
Dari gambaran itu memberi pesan, ekonomi tidak cukup tumbuh tinggi di mana pertumbuhan ekonomi Sulteng peringkat 2 nasional tetapi harus diikuti kualitas pertumbuhan 17 sektor usaha. Sektor yang menjadi potensi daerah pada umumnya seperti produksi pangan mesti jadi salah satu prioritas dikembangkan. (red/teraskabar)






