Jumat, 7 November 2025
Home, Opini  

Shrimp Club Sulawesi dan Mitra Tolak Penggunaan Antibiotik, Asosiasi Sarankan Persoalan Fundamental Diselesaikan

Shrimp Club Sulawesi & Mitra Tolak Penggunaan Antibiotik, Asosiasi Sarankan Persoalan Fundamental Diselesaikan
Sulawesi Selatan Shrimp Club Indonesia (SCI) melaksanakan rapat terbatas bersama dengan sejumlah mitranya, Rabu (9/7/2025), di Cafe Lakopi, Kota Makassar. Foto: Dok Hasanuddin Atjo

Oleh Hasanuddin Atjo

Bertempat di Cafe Lakopi, Kota Makassar, Sulawesi Selatan Shrimp Club Indonesia (SCI) melaksanakan rapat terbatas bersama dengan sejumlah mitranya, Rabu (9/7/2025).

Hadir dalam rapat tersebut antara lain ketua SCI pusat, Prof. Andi Tamsil, SCI Sulsel Hasanuddin Atjo, petambak udang serta sejumlah mitra seperti asosiasi benur, pakan dan cold storage.

Terungkap pada rapat tersebut setidaknya ada tiga persoalan fundamental dalam industri udang nasional. Antara lain, penyakit udang di hatchery dan tambak yang berlansung sudah lama dan hingga saat ini belum tuntas.

Selanjutnya dalam kurun waktu enam bulan terakhir, isu produk udang tercemar oleh antibiotik kembali terulang. Pada saat ini menurut laporan sudah sekitar 40 unit kontainer udang yang diekspor tujuan Amerika Serikat telah tercemar antibiotik.

Dan konsekuensinya, produk mesti dikembalikan ataupun harus dimusnahkan. Kondisi ini mengancam keberlanjutan industri udang nasional yang selama ini menjadi andalan devisa Indonesia dari sektor kelautan dan perikanan.

Pengalaman penolakan produk karena antibiotik juga pernah terjadi sekitar awal tahun 2000-an. Negara Uni Eropa menolak sertifikat mutu yang diterbitkan oleh beberapa laboratorium mutu daerah. Namun akhirnya masalah terselesaikan setelah Pemerintah Pusat ikut “campur tangan”

Tidak hanya isu penyakit dan antibiotik. Indonesia juga akan terdampak kebijakan Donald Trump, yaitu pajak impor yang masuk ke Amerika Serikat dan telah ditetapkan sebesar 32 persen. Ini sudah tentu akan menurunkan harga pembelian udang di tambak.

Tiga persoalan fundamental tersebut harus dicarikan jalan keluar. Besar keyakinan bisa diselesaikan apabila terbangun kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan berujung kepada kemesraan.

Dalam diskusi yang berlansung kurang kebih 2 jam, beberapa masukan yang perlu menjadi perhatian oleh stakholders. Masukan itu dibagi menjadi dua bagian yaitu program jangka pendek dan jangka panjang.

  BEM Kota Palu Bukan Mitra Kerja Pemerintah, Audiensi ke Gubernur Sulteng untuk Sampaikan Kritikan

Pada program jangka pendek, diharapkan Badan Karantina memperketat proses urusan penerbitan sertifikat mutu ekspor udang, karena lembaga ini menjadi benteng terakhir berkaitan mutu udang yang akan diekspor.

Menjadi pertanyaan kemudian oleh peserta rapat bagaimana proses kontaminasi antibiotik itu terjadi mengingat sertifikat mutu menjadi garansi negara terhadap mutu produk yang akan diekspor. Ini yang perlu didalami.

Selain itu Asosiasi diharapkan mengedukasi anggotanya agar tidak mentolerir penggunaan antibiotik mulai di hatchery, usaha pembesaran di tambak dan pengangkutan udang.

Dan juga diharapkan kepada Balai pengujian mutu daerah dan Badan Karantina secara terkoordinasi melakukan upaya pembinaan, pemantauan dan pengujian di hatchery, tambak maupun saat udang diangkut.

Disarankan juga kiranya Cold Storedge melakukan pengujian terhadap udang yang masuk ke Pabriknya, dan bila terbukti positif antibiotik harus diberi sanksi untuk tidak diterima.

Ini bertujuan memberi efek jera terutama yang dengan sengaja menggunakan. Dan kepada pemilik yang tidak sengaja/ tidak mengetahui kemudian menggunakan agar bisa lebih waspada.

Solusi jangka panjang, peserta rapat mengusulkan tiga hal pokok. Pertama menertibkan produksi benur di hatchery dan backyard hatchery, karena 60 persen benur yang diproduksi dan diperdagangkan sudah tidak sehat.

Selama persoalan penyakit di hatchery dan tambak belum bisa diselesaikan, maka sangat sangat sulit bisa menghentikan penggunaan antibiotik, karena diantara teknisi, pelaku usaha ada yang mau berhasil serta menyelamatkan bisnisnya meski dengan cara melanggar.

Kedua, pengembangan industri udang idealnya telah berbasis cluster pulau besar. Misalnya cluster pulau Sumatra, Jawa Kalimantan, Sulawesi dan seterusnya. Diharapkan pola ini dipertimbangkan pemerintah sebagai sebuah regulasi.

Dengan pendekatan cluster itu, maka penyakit udang maupun penyebarannya lebih mudah dikendalikan. Efisiensi akan lebih tinggi karena ongkos logistik bisa ditekan, dan mutu udang akan lebih baik serta meningkatkan pemerataan investasi.

  Dugaan Penyusutan Suara, Caleg Partai Hanura Protes ke KPU Parimo

Ketiga, secara bertahap mulai mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat yang saat ini market share-nya hampir 70 persen. Selanjutnya mulai membuka pasar baru antara lain ke negeri China yang dinilai potensial.

Saat ini kebutuhan udang china sekitar 2 juta ton dan hanya separuh yang bisa disediakan petambak lokal. Sekitar 1 juta ton harus diimpor dari luar, di antaranya Equador sekitar 68 persen.

Disayangkan Indonesia baru bisa mengekspor sebesar 1 persen yaitu sekitar 10.800 ton, antara lain karena persoalan mutu yang belum memenuhi kriteria.

Demikian beberapa catatan kecil dari diskusi terbatas dan diharapkan kiranya perhatian terhadap aspek mutu produk menjadi salah satu prioritas. (***)