Palu, Teraskabar.id – Praktik dugaan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan tanahnya kembali terjadi. Kali ini menimpa 4 warga di kawasan Indonesia Huabao Industrail Park (IHIP).
Dugaan kriminalisasi akibat konflik agraria masih menjadi persoalan yang seakan tiada penyelesaiannya di berbagai daerah di Sulawesi Tengah. Konflik itu melibatkan perusahaan-perusahaan pertambangan dan industri nikel juga pemerintah, baik pemerintah daerah, Provinsi Sulteng maupun pemerintah pusat.
Baca juga: Eva Bande Sebut Aktivitas PT ANA Ilegal
Proses pembangunan kawasan industri nikel ini dikerjakan oleh PT IHIP dan PT Bahosua Taman Indsutri Investment Group (BTIIG) dengan target luasan 20.000 hektare dengan memakai dua skema. Yaitu, tahap satu seluas 1.200 hektare akan dibebaskan dan tahap II seluas 18.800 hektare.
Proyek Pembangunan Kawasan industry ini beroperasi di Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, meliputi Desa Topogaro, Wata, Tondo, Ambunu, Upanga, Larebonu dan Desa Wosu. Proyek ini juga diklaim sebagai wujud dari percontohan kerja sama internasional dengan melibatkan modal dari Tiongkok, dengan skema One Belt, One Road Inisiative.
Sejak 11 Juni 2024, masyarakat Desa Topogaro, Kecamatan Bungku Barat mengambil sikap tegas dengan menutup akses perusahaan yang menjadikan tanah warga desa menjadi lahan koridor PT IHIP.
Aksi ini dimulai dari pernyataan legal eksternal PT IHIP, yang terpublish melalui video, di mana menyatakan bahwa terdapat MoU antara pihak perusahaan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali, yang ditandatangani berkaitan dengan pertukaran asset daerah dengan proyek penimbunan bandara Morowali.
Baca juga: Eva Bande Tuding Gubernur Rusdy Mastura Gagal Selesaikan Konflik Agraria di Sulteng
Perusahaan juga mengkalim hak atas jalan Desa Topogaro yang kemudian telah diperuntukan untuk perusahaan dan telah disepakati oleh semua pihak. Namun, ketika pemerintah desa meminta untuk pembuktian dengan salinan dokumen antar kedua bela pihak, perusahaan mengelak dan tidak memberikan dokumen perjanjian MoU PT IHIP dan Pemda Kabupaten Morowali.
Selanjutnya pada 20 Juni 2024, lima orang warga asal Desa Tondo dan Topogaro dilaporkan ke pihak Polda Sulawesi Tengah atas aksi yang mereka lakukan pada tanggal 11 Juni 2024.
IHIP Layangkan Somasi, Polda Segera Tindaklanjuti
Sebelumnya, PT IHIP melakukan somasi. Somasi pertama dilakukan pada tanggal 11 Juni 2024, dengan nomor surat 10/BTIIG-Legal/VI/2024 pada empat orang yaitu Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, dan Safaat sebelum menerima panggilan Polda Sulteng dengan nomor surat B/556/VI/2024/Diskrimsus.
Somasi kedua dilakukan pada tanggal 23 Juni 2024 dengan nomor surat 14/BTIIG-LEGAL/VI/2024, perihal “Tindakan Pemalangan Yang Mengakibatkan Berhentinya aktivitas (Investasi) PT BTIIG”. Lima warga Desa Ambunu dilaporkan yaitu Moh. Haris Rabbie, Makmur Ms, Abd. Ramdhan, Hasrun, dan Rifiana M.
“Praktik-praktik seperti ini tidak boleh dibiarkan secara terus menerus, harus dilawan!!” kata Aktivis Agraria, Eva Bande, Ahad (7/7/2024).
Menurutnya, tindakan dengan mensomasi juga melaporkan rakyat adalah upaya pembungkaman terhadap rakyat yang berjuang hak atas tanahnya.
Baca juga: Cegah Peredaran Narkoba, BTIIG dan BNN Morowali Teken MoU
“Pemerintah jangan tutup mata terus, mau sampai kapan rakyat terus menjadi korban yang juga pemicunya adalah pemerintah itu sendiri,” ujar Eva Bande.
Sekaitan dugaan kriminalisasi warga oleh PT BTIIG lanjutnya, Eva Bande juga menuntut kepada Komnas HAM RI untuk segera melakukan perlindungan terhadap masyarakat yang berjuang atas tanah, aktivis pejuang lingkungan, juga lima orang yang telah dilaporkan ke pihak kepolisan.
Eva Bande juga mendesak DPR RI untuk segera melakukan evaluasi terhadap operasi perusahaan pertambangan dan industrinya di Morowali dan kabupaten lainnya di Sulteng.
Selanjutnya, terhadap Pemerintah Indonesia yaitu Presiden Jokowi, untuk segara mengevaluasi instansi dan jajarannya dalam mengontrol proyek-proyek pertambangan multi nasional ini.
Eva Bande juga meminta kepada Kementrian Agraria, untuk segera berbenah, di mana konflik atas tanah rakyat dan perusahaan di Sulteng kian bertambah dan tak ada proses atapun progress penyelesainnya.
Kepada Gubernur Sulteng, Eva Bande mendesak untuk tidak menutup mata melihat rangkaian peristiwa konflik agararia yang sangat tinggi di Sulteng.
Terakhir, terhadap Kapolri RI untuk tidak mengkriminalisasi pejuang agrarian dan lingkungan, serta segera melakukan evaluasi terhadap bawahannya untuk lebih professional dalam menjalankan mandat rakyat dengan tidak berpihak ke perusahaan. (red/teraskabar)