Kandungan Merkuri di Area Pengolahan Emas Lagarutu Palu Capai 0,0305 PPM akibat PETI

Palu, Teraskabar.id – Kegiatan ilegal berupa pertambangan emas tanpa izin (PETI) oleh beberapa pihak di Sulawesi Tengah (Sulteng) dianggap sebagai persoalan kompleks yang berbuntut masalah pada berbagai aspek.

PETI dinilai tidak hanya berpotensi merugikan negara, mengancam nyawa, atau merusak lingkungan, melainkan juga berdampak buruk pada kesehatan masyarakat yang tinggal di area tambang.

Dampak kesehatan ini ditimbulkan karena adanya penggunaan bahan kimia berbahaya dalam proses pengolahan material, sebelum menjadi emas murni di kawasan PETI.

Baca jugaJanji Penertiban Hanya Gertak Sambal Aparat, PETI di Poboya dan Vatutela Semakin Subur

Merujuk hasil penelitian tiga mahasiswa Universitas Tadulako (Untad) Palu, Muh Rahmat Fadillah, Isrun dan Sri Wahidah Prahastuti yang dipublikasikan Agustus 2023, menemukan paparan bahan kimia pada tanah Poboya, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu.

Di dalam tanah sekitar area pengolahan emas di Lagarutu, Kelurahan Poboya, tiga mahasiswa ini menemukan kandungan bahan kimia jenis merkuri berkisar 0,0068-0,0305 ppm.

Beberapa hektare wilayah Poboya merupakan area kontrak karya pertambangan emas PT Citra Palu Minerals (CPM). Wartawan mendapatkan informasi bahwa di beberapa titik lahan konsesi ini, juga berlangsung aktivitas PETI yang dilakukan oknum di luar CPM.

Kepolisian Resort Kota (Polresta) Palu mencatat, ada ratusan warga yang bekerja sebagai penambang liar di sana.

Terkait fakta ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu menyatakan, bahwa pada level tertentu, bahan kimia memang dibutuhkan sebagai media saat kegiatan atau proses pertambangan.

“Saat proses pemisahan (emas dari material lainnya) memang ada proses-proses kimia yang dilakukan. Hanya saja apakah penggunaan dan metodenya sesuai prosedur dan aturan atau tidak,” kata Sekretaris DLH Kota Palu, Ibnu Mundzir, Senin (16/9/2024).

Kata dia, pengawasan terkait hal ini berada pada kewenangan pemerintah provinsi. Pemerintah Kota (Pemkot) Palu, menurutnya, bisa terlibat ketika aktivitas pertambangan telah menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.

“Contohnya saat terjadi banjir hingga ke badan jalan di area pertambangan Kelurahan Watusampu yang berakibat pada terganggunya arus lalu lintas,” jelasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *