Kamis, 17 Juli 2025
Home, Opini  

Panti Pijat Menjamur di Morowali: Apa Kabar OPD Terkait?

Panti Pijat Menjamur di Morowali: Apa Kabar OPD Terkait?
Ilustrasi. Foto: Dok

Segelas Kopi Pahit dari Abd. Ghafur Halim (Penggiat Sosial)

Dalam beberapa tahun terakhir, Morowali mengalami lonjakan pesat dalam pembangunan, terutama sejak hadirnya kawasan industri yang mendatangkan ribuan pekerja dari luar daerah. Namun, di balik geliat ekonomi yang tampak menggembirakan, muncul fenomena sosial yang patut menjadi perhatian serius: menjamurnya panti pijat di berbagai sudut.

Awalnya, panti pijat mungkin dianggap sebagai tempat relaksasi dan perawatan tubuh. Namun realitanya di lapangan sering kali jauh dari definisi tersebut. Banyak panti pijat yang diduga menjadi kedok praktik prostitusi terselubung, memperdagangkan tubuh perempuan dengan dalih layanan kesehatan atau kebugaran. Ini bukan sekadar isu moralitas, melainkan persoalan serius yang menyangkut martabat manusia, ketertiban sosial, dan potensi pelanggaran hukum.

Apakah ini harga yang harus dibayar oleh daerah yang tengah berlomba menjadi pusat pertumbuhan ekonomi nasional?

Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari model pembangunan nasional yang berorientasi kapitalisme tanpa kontrol sosial yang memadai. Ketika pembangunan hanya diukur dari investasi dan infrastruktur, tanpa mempertimbangkan fondasi sosial dan kultural masyarakat, maka hasilnya adalah ruang-ruang kosong yang dengan mudah diisi oleh praktik-praktik menyimpang.

Morowali hari ini menjadi gambaran mini dari paradoks pembangunan: satu sisi tumbuhnya pabrik-pabrik megah dan pusat logistik, di sisi lain muncul pula ekosistem bisnis remang-remang yang secara diam-diam memanen keuntungan dari tubuh-tubuh perempuan yang tereksploitasi.

Pertanyaan besar yang harus diajukan: di mana peran pemerintah daerah dalam hal ini Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait? Adakah sistem perizinan yang ketat? Atau justru ada pembiaran yang disengaja atas nama “hiburan” bagi para pekerja industri?

Jika negara hadir dalam bentuk regulasi dan pengawasan, maka menjamurnya panti pijat tak berizin seharusnya tidak terjadi. Kemudian, panti pijat yang memiliki izin resmi secara administratif memang diakui negara. Tapi, legalitas hanyalah soal dokumen dan regulasi, bukan soal substansi layanan di dalamnya. Banyak kasus di Indonesia di mana panti pijat “berizin” justru menjadi kedok praktik prostitusi terselubung, karena lemahnya pengawasan. Izin bisa didapat, tapi praktik di lapangan bisa menyimpang.

Seringkali, izin usaha pijat hanya memeriksa aspek teknis seperti lokasi, bangunan, dan izin domisili. Harus ada sistem regulasi ketat untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi di balik dinding-dinding itu. Apakah karena pendapatan retribusi dari usaha-usaha ini? Apalagi jika pelaku usaha punya “backing kuat”.

  Pemkab Morowali Ajukan Lima Ranperda dan Rancangan Perubahan APBD 2025

Ketika panti pijat menjamur, bahkan yang berizin sekalipun, ruang sosial perempuan dan makna relaksasi menjadi kabur. Masyarakat bisa terdorong menganggap layanan seksual sebagai sesuatu yang biasa, asal ada izin.

Pemerintah daerah harus menerapkan standar audit sosial dan moral. Panti pijat berizin perlu diawasi secara berkala: Apa bentuk layanannya? Siapa saja yang bekerja di sana? (Apakah ada eksploitasi?) Bagaimana jam operasionalnya? Adakah laporan masyarakat yang diabaikan?.

Morowali bisa  mendorong model bisnis relaksasi yang berbasis kesehatan dan etika, seperti: Klinik fisioterapi resmi, tempat pijat refleksi berbasis herbal atau Spa keluarga dengan tenaga terlatih dan tersertifikasi.

Panti pijat yang berizin tidak otomatis bebas dari masalah. Legalitas tanpa pengawasan dan kesadaran moral hanya akan menjadi topeng yang melegitimasi praktik eksploitatif. Pemerintah, masyarakat, dan media lokal harus kritis: bukan hanya bertanya soal “izin atau tidak”, tapi juga “apa yang sebenarnya terjadi di balik izin itu?” Karena yang berizin saja rawan, apalagi yang tidak berizin.

Sudah waktunya Morowali tidak hanya sibuk menghitung pendapatan asli daerah, tetapi juga menghitung kerusakan sosial. Karena menjamurnya panti pijat di Morowali bukan sekadar persoalan gaya hidup atau bisnis kecil-kecilan, ini adalah cermin dari bagaimana industrialisasi bisa menjebak masyarakat dalam krisis moral yang dalam. Jika tidak ditangani secara sistemik, Morowali bisa menjadi kota industri yang kehilangan jiwanya.

Salam segelas kopi!.