Senin, 24 Maret 2025
News  

Prof Zaenal Abidin Ungkap Strategi Menggolkan Moderasi Beragama

Kemenag Sulteng menggelar Orientasi Penguatan Moderasi Beragama, Senin (27/12/2021) di Hotel Santika Palu. Foto: Istimewa

Palu, Teraskabar.id– Pemerintah melalui Kementerian Agama terus menggencarkan terwujudnya moderasi bergama di Indonesia. Hal itu sebagai upaya merawat keberagaman beragama sekaligus meningkatkan relasi sosial umat beragama agar semakin mesra, sehingga kehidupan sosial berlangsung dalam harmoni.
“Bila ingin menggolkan moderasi beragama perlu ada strategi,” kata Ketua FKUB Sulteng Prof Dr. Zaenal Abidin, M.Ag saat memaparkan materinya pada Orientasi Penguatan Moderasi Beragama, Senin (27/12/2021) di Hotel Santika Palu.
Menurut Prof Zaenal, ada lima strategi untuk menggolkan moderasi beragama.

Pertama, menerima perbedaan. Bagi Prof Zaenal, perbedaan itu adalah sunnatullah. Sehingga, menghargai perbedaan adalah suatu keniscayaan, termasuk menghargai perbedaan beragama.
“Semua agama itu benar menurut masing-masing pemeluknya,” katanya.
Realitas keberagaman dalam kehidupan masyarakat menurutnya, merupakan keniscayaan sosial. Keberagaman ini berimplikasi pada lahirnya perbedaan. Semakin heterogen sebuah masyarakat, semakin banyak perbedaan yang muncul. Bahkan, dalam komunitas agama yang sama, masih terdapat perbedaan mazhab. Dalam mazhab yang sama masih terdapat perbedaan pemikiran.
Olehnya, kerukunan tidak diwujudkan dengan menghilangkan perbedaan. Karena hal itu adalah sebuah kemustahilan. Kerukunan terwujud justru melalui pengakuan dan penghargaan terhadap wujudnya perbedaan, sehingga tidak melahirkan sikap merasa benar sendiri.
Selanjutnya, mencari titik temu yang dapat menyatukan perbedaan tersebut dalam merajuk kehidupan bersama secara harmonis.

Kedua, mengedepankan persamaan. Dari sudut pandang dogmatis-teologis, setiap agama memiliki karakteristik yang khas dan membedakannya dari agama lain. Hal ini tergambar terutama pada tata cara beribadah atau sistem ritualnya masing-masing.
Namun, dari segi pesan-pesan moral yang bersifat sosiologis, terlihat jelas adanya nilai-nilai humanis universal yang disepakati oleh semua ajaran agama.
Untuk membangun komunikasi dan kerukunan lintas agama semestinya aspek- aspek persamaan inilah yang perlu dikedepankan. Bukannya menggali perbedaan-perbedaan yang memang sudah pasti ada.

Ketiga, Saling percaya, saling memahami.
Salah satu faktor yang kerap kali menjadi akar terjadinya konflik antar umat beragama adalah tidak adanyasaling percaya satu sama lain. Bila satu kelompok tidak mempercayai kelompok lain, maka segalaperilakunyaakan mudah dicurigai dan dalam kondisi seperti ini akan sangat mudah diprovokasi oleh pihak ketiga.
Oleh karena itu, memupuk rasa saling percaya satu sama lain merupakan salah satu kunci untuk membangun hubungan yang sehat antar penganut lintas agama.Saling percaya hanya dapat dibangun jika masing-masing pihak terbuka satu sama lain,serta saling memahami karakteristik ajaran agama masing-masing. Salah satu bentuk saling percaya dan saling memahami itu adalah tidak mudah menerima informasi-informasi yang provokatif dan berpotensi melahirkandesintegrasi.
Keempat, Moderasi beragama.
Moderasi Beragama adalah cara beragama yang moderat, tidak ekstem. Cara beragama yang damai, toleran dan menghargai perbedaan. Moderasi Beragama bukanlah Moderasi Agama. Moderasi beragama berada pada tataran sosiologis dalam wilayah praktek keberagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
Artinya, pada tataran teologis, setiap orang berhak dan bahkan seharusnya meyakini kebenaran agamanya. Tetapi pada saat yang sama (pada tataran sosiologis) memahami bahwa orang lain pun memiliki keyakinan terhadap ajaran agama mereka. Karena keyakinan adalah wilayah yang sangat subjektif, wilayah hati.
“Analogi paling sederhana, seseorang boleh berpandangan bahwa pasangannya yang paling cantik atau ganteng, tapi tidakperlu risau kalau orang lain juga mengakui bahwa pasangan mereka paling cantik atau ganteng, karena kecantikan dan kegantengan sangat subjektif,” ujarnya.

Kelima, Kesadaran global
Kesadaran bahwa apa yang dilakukan akan berdampak luas. “Hindari sikap-sikap atau pernyataan yang sifatnya menilai ajaran agama atau keyakinan orang lain,” ujarnya.
Saat ini tambahnya, hampir setiap orang membawa camera video recorder, yang siap merekam segala sikap dan pernyataan anda dan menyebarkannya di dunia maya. (bid/pe)