Oleh Hasanuddin Atjo
Teraskabar.id – Kemiskinan dalam beberapa hari belakangan ini menjadi trending topik dan viral mengisi sejumlah laman media cetak maupun online Nasional dan Lokal. Group Medsospun ikut membahas isu seksi ini.
Ini gegara data Macro Poverty Outlook yang dirilis April 2025, oleh Bank Dunia bahwa 60,30 persen (setara 171,8 juta jiwa) masyarakat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan.
Berbeda denga Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan nasional per bulan September tahun 2024 hanya sebesar 8,57 persen, sekitar 24,06 juta jiwa.
Perbedaan ini sontak membuat banyak orang ingin tau kenapa perbedaan itu sangat lebar. Apakah garis kemiskinan versi BPS yang salah, dan dibuat rendah atau Bank Dunia yang keliru.
Keduanya memiliki standar dan pendekatan yang berbeda. BPS menggunakan pengeluaran perbulan memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan (tahun 2024).
Jika rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 orang, maka garis kemiskinan rumah tangga setara Rp2.803.590 per bulan. Pengeluaran dibawah angka ini dikategorikan rumah tangga miskin.
Bank dunia memiliki standar yang lebih tinggi. Indonesia dikategorikan sebagai Negara berpendapatan menengah, meskipun berada pada level bawah dari kelompok tersebut.
Standar kemiskinan yang telah ditetapkan tahun 2024 sebesar US$ 6,85 perkapita perhari, ini setara dengan Rp 102.750 (kurs US$ Rp 15.000), atau lebih Rp 3.000.000 perkapita perbulan. Enam kali standar BPS.
BPS merilis bahwa kemiskinan Nasional kurun waktu 10 tahun terakhir menurun. Pada bulan Maret 2014, jumlah orang miskin sebanyak 28,28 juta jiwa (11,25 persen). Dan selanjutnya Maret 2024 sebanyak 25,22 juta jiwa (9,03 persen). Ini menunjukkan laju penurunan yang lamban hanya sekitar 300 ribu jiwa pertahun.
Meskipun ada progress, namun sejumlah pihak menyangsikan akan angka ini setelah melihat kondisi rill masyarakat kategori hampir miskin dan tidak miskin di lapangan. Semakin ke Timur biasnya semakin besar.
Selain itu garis kemiskinan yang telah ditetapkan dinilai kerendahan, sehingga perlu ditinjau kembali. Metodelogi yang dipergunakan dipandang perlu disesuaikan lagi dengan kondisi terkini.
Karena itu sejumlah kalangan memandang penting mencarii format yang sederhana tetapi hasilnya lebih terukur dengan bias relatif kecil, sehingga gambaran kemiskinan tersebut bisa sesuai kondisi lapangan.
Data Indeks Desa Membangun (IDM) berdasarkan diskusi yang dilakukan menarik dikaji untuk menjadi salah satu basis menyusun program, kegiatan pengentasan kemiskinan bagi Provinsi dan Kabupaten/Kota. Bersama BPS bisa menyusun desain pengukuran kemiskinan tersebut.
Berdasarkan data IDM, status Desa dibagi menjadi 5 kategori yaitu, Desa Sangat Tertinggal, Tertinggal, Berkembang, Maju dan Desa Mandiri. Tiga Desa pertama itu tentunya menjadi perhatian.
Berdasarkan data BPS Sulteng bahwa per September tahun 2024, provinsi kaya nikel dan pertumbuhan PDRB dua digit memiliki angka kemiskinan sebesar 10,04 persen, setara 358,33 ribu orang. Menurun sebesar 21,43 ribu terhadap Maret tahun 2024.
Jumlah sebesar 358,33 ribu orang itu diprediksi dominan bermukim di desa kategori sangat tertinggal , tertinggal dan berkembang. Dan ini mesti diurai by name by adress yang datanya sebagian besar tersedia, hanya perlu validasi.
Sementara itu didasarkan data IDM 2023, dirilis Kementerian Desa, bahwa jumlah Desa yang tertinggal di Sulteng tersisa 151 dari total 2020 desa. Dan terbebas dari kategori sangat tertinggal.
Dari 2020 desa tersebut, Desa Berkembang mendominasi dan jumlahnya lebih dari separuh.
Karena itu fokus pengentasan diarahkan pada Desa Tertinggal dan Berkembang. Intervensi dan program pemberdayaan menjadi strategi untuk tujuan itu.
Gubernur Sulteng Anwar Hafid yang dikenal kaya ide lompatan dan tindak, dipandang sejumlah kalangan bisa mempercepat penurunan angka kemiskinan di Negeri yang dilintasi garis khatulistiwa yang selama ini terkesan lamban.
Pendekatan IDM sebagai basis bisa menjadi salah satu pilihan. Gubernur Anwar Hafid tentunya bisa mengkoordinir gerakan ini bersama para Bupati/Walikota, yang memiliki wilayah maupun masyarakat.
Diharap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait urusan ini bisa menangkap dan merespon masukan ini dan menginisiasi penyusunan desainnya melalui sejumlah diskusi terstruktur. SEMOGA.