Palu, Teraskabar.id – Haul ke-57 Guru Tua, ulama besar dan pendiri Alkhairaat, tak hanya menjadi momen refleksi keagamaan, tetapi juga ruang mengenang jejak perjuangannya. Salah seorang saksi sejarahnya, Longki Djanggola, Anggota Komisi II DPR RI memberi testimoni mengharukan yang menyentuh ranah personal dan historis pada Peringatan Haul ke-57 Guru Tua di Kompleks Perguruan Islam Alkhairaat, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (12/4/2025).
Dalam sesi testimoni yang disaksikan ribuan Abnaul Khairaat, mantan Gubernur Sulawesi Tengah dua periode itu berbicara bukan sebagai tokoh politik, melainkan sebagai anak remaja yang pernah menyaksikan langsung bagaimana Guru Tua—Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri—mengabdikan hidupnya untuk pendidikan dan agama, jauh dari sorotan publisitas seperti di zaman kini dan minimnya dukungan fasilitas.
“Saya menyaksikan langsung bagaimana Guru Tua memulai perjalanan misinya naik gerobak,” kata Gubernur ke-10 Sulawesi Tengah, mengenang masa kecilnya di Palu. Kala itu, ia masih duduk di bangku SD hingga SMP, sebelum melanjutkan pendidikan ke Makassar. Namun pengalaman menyaksikan Guru Tua melintasi jalanan Palu menuju Dolo dengan gerobak sapi, masih membekas kuat, dilansir dari jafabuaisme.
Longki bercerita, saban sore ia diperintah oleh ayah dan ibunya untuk “cegat dan isi gerobak” Guru Tua dengan apa pun yang mereka mampu. Beras, gula, atau barang keperluan lain untuk mendukung perjalanan dakwah sang ulama. “Itu saya lakukan,” ujarnya, “dan menurut saya, apa yang dilakukan Guru Tua adalah betul-betul hal yang luar biasa. Sekarang mungkin tak ada lagi yang mampu atau rela mengabdi tanpa pamrih, tulus dan ikhlas seperti itu.”
“Pengalaman istimewa lainnya buat saya adalah Guru Tua juga suka memberikan satu dua tandan pisang bila beliau pulang dari berdakwah di Pakuli. Itu perlambang betapa ikhlas hatinya Guru Tua,” imbuhnya.
Bukan hanya soal ketekunan dan keikhlasan Guru Tua dalam berdakwah yang dikisahkan Longki, tetapi juga kepribadian yang kuat. Longki menyebut sang ulama tak pernah mengeluh meski sakit, tetap naik gerobak dari rumahnya di Kamonki ke Pakuli, demi menjalankan misi mulia.
Guru Tua, dalam kenangan Longki, bukan hanya tokoh besar, tapi juga sosok yang dekat secara lahiriah dan batiniah dengan kelurganya. Ia menyebut bagaimana sang ulama diterima secara resmi oleh kakeknya, Magau Janggola—Raja Palu saat itu—ketika pertama kali tiba di Sulawesi Tengah melalui Pelabuhan Wani.
Kenangan masa kecil Longki juga penuh dengan interaksi spiritual bersama keluarga Guru Tua. Tiap malam Jumat, ia dan ibunya, Hj. Aminah Sasung Manoppo, rutin mendatangi kediaman Guru Tua di Kambonji. “Itu adalah pekerjaan wajib bagi kami,” ujar Longki. Bahkan, ia sempat menempuh pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah di Lolu, yang para gurunya adalah murid-murid langsung Guru Tua. “Saat itu, saya sendiri yang jadi kusir dokar untuk mengantar ibu saya.”
Apa yang disampaikan Longki adalah potongan kecil dari sejarah panjang Alkhairaat dan pengabdian Guru Tua yang melampaui batas zaman. Sebuah pengabdian yang tak menuntut pamrih, tak dibayar pujian, dan tak diguyur bantuan atau dukungan fasilitas apapun.
“Insyaallah,” tutup Longki, “apa yang sudah dilakukan Guru Tua diterima oleh Allah SWT, dan akan terus berguna bagi Abnaul Khairaat di Sulawesi Tengah dan masyarakat Indonesia pada umumnya.”
Jejak yang ditinggalkan Guru Tua barangkali tak banyak tercatat dalam buku sejarah formal. Tapi dalam ingatan saksi-saksi seperti Longki Djanggola, perjuangan itu abadi—meski hanya dimulai dari atas sebuah gerobak. (red/teraskabar)